Sehari-hari kita
kita digerakkan oleh hasrat meraih sesuatu yang muncul dari keinginan dan
cita-cita. Keinginan yang seringkali melebihi batas-batas kewajaran,
kesederhanaan yang proporsional. Pada saat yang sama kita sebenarnya telah melampaui
batas “manusiawi kehambaan” kita kepada Allah. Berarti kita tidak memiliki
sikap Wira’i atau Wara’.
Kita sedang
bekerja keras dengan ambisi kita untuk meraih kekayaan dan
fasilitas yang
lengkap. Tetapi ketika ukuran kekayaan itu telah
melebihi proporsi
yang kita butuhkan sehari-hari, kita telah terlempar dari
kewara’an itu
sendiri. Wara’ dalam bekerja, adalah sikap wajar
menjalankan
tugas kehidupan secara syar’i, sedangkan jiwa dan nurani kita tidak
terkotori oleh
pengaruh keindahan dunia dann keramaian di sisi kita.
Seorang yang
memiliki Wara’, ia selalu menjaga agar tidak berlebihan, baik
dalam ucapan,
tindakan, hasrat dan keinginan.
Rasulullah saw,
menggambarkan Kewara’an itu melalui haditsnya yang
terkenal, “Salah
satu tanda baiknya ke-Islaman seseorang, apabila orang itu
meninggalkan
hal-hakl yang tidak perlu.”
Beliau juga
melanjuutkan, “Jadilah dirimu orang yang Wara’, maka anda
akan benar-benar
menjadi ahli ibadah.” (hr. Ibnu Majah)
Banyak orang
merasa mendapat peluang yang halal, kemudian ia raup
peluang itu
tanpa menghiraukan lingkungan sosial, apalagi menghiraukan
kecemburuan hati
nuraninya yang dicampakkan oleh pesona duniawiyah. Hati
kita, ruh kita,
sirr kita teramat cemburu ketika kita mulai berpaling
kepada
iming-iming dunia, walau pun itu halal. Kenapa demikian? Tidak semua
yang halal yang
ada di depan kita itu ketika menjadi milik kita dinilai
sebagai sesuatu
yang berkah.
Sebab ketika
seseorang meliarkan matahatinya pada pemberian Ilahi, yang
membuat dirinya
justru lupa kepadaNya, pada saat yang sama keberkahan
dibalik anugerah
itu seperti tercerabut dari akar rizki itu. Kenapa?
Karena tiba-tiba
ia menjadi manusia kikir, bakhil, pelit, dan egoistis,
lalu sombong.
Lalu ia lupa diri.
Wara’,
sesungguhnya memiliki makna kehati-hatian. Hati-hati terhadap
hal-hal yang
halal, apalagi terhadap hal-hal yang haram. Karena itu dalam
proses tahapan
ruhani, Wara’ disebut sebagai awal dari tindakan Zuhud,
atau tindakan
mencampakkan pesona duniawi dari jiwa hamba Allah Ta’ala.
Apakah manusia
modern bisa bebas dari syubhat, baik secara syar’y
maupun hakiki?
Bisa dan mudah. Bahkan saking mudahnya Sufyan ats-Tsaury
meegaskan, “Saya
tidak melihat yang lebih mudah ketimbang Wara’. Jadi apa
yang mengganjak
dalam dirimu, tinggalkan saja!”.
Banyak simpang
siur mulai dari soal syariat hingga soal hakikat
mengenai sikap
hati-hati kita menghadapi kemodernan. Soal-soal yang berkaitan
dengan syariat
bisa dilihat lebih luwes, tidak radikal dan tidak keras,
tanpa mengurangi
sikap hati-hati kita. Tetapi soal hakikat, soal
kejiwaan dan
keruhanian kita, apakah kita hidup di abad modern atau di abad
nomaden, abad
batu, abad debu, kapasitas psikhologi manusia tetap sama.
Justru banyak
orang yang larut dalam lumpur modernisme ketika Wara’
diabaikan.
Modernisme sebagai sesuatu instrument untuk kemajuan manusia,
memiliki nilai
positip, darimana pun datangnya. Tetapi sikap psikhologi
kita menghadapi
norma kebebasan yang yang liar telah menumbuhkan ambisi
nafsu baru untuk
menjadi budak modernitas. Ujungnya adalah kekuasaan,
fasilitas,
materi, dan eksotisme. Dan itulah penderitaan dan penyakit
paling
mengerikan.
Mestinya manusia
modern memiliki ketegasan dan kesahajaan. Ketegasan
terhadap hal-hal
yang meragukan dan skeptis. Ketegasan terhadap larangan
Allah. Ketegasan
terhadap hal-hal yang menggalaukan jiwa kita.
“Tinggalkan
hal-hal yang meragukan, menuju hal yang pasti.” Demikian sabda Nabi
SAW.
Karena itu Wara’
sesungguhnya menjadi benteng manusia modern. Karena
dengan Wara’
manusia modern akan memiliki kekuatan jiwa yang luar biasa,
antara lain:
Wara’ menumbuhkan kesatriaan, kejujuran,
kesahajaan, kesederhanaan,
dan sikap sosial
yang positip.
Wara’ menjauhkan sikap berlebihan, egoisme,
kesombongan, dan ambisi
materi.
Wara’ mendorong manusia untuk menjadi hamba
yang merdeka dari
kepentingan-kepentingan
selain Allah, karena hakikat Wara’ adalah sikap
waspada terhadap
segala hal selain Allah.
Wara’ menghantar kita untuk tulus dan ikhlas
dalam beramal hanya
untuk Allah.
Karena tanpa wara’, ubudiyah kita akan terseret pada hal-hal
yang menyimpang,
dan jauh dari keikhlasan.
Wara’ menghilangkan sikap kepura-puraan
kita, basa basi kita,
penipuan-penipuan
kita, kemunafikan kita, kefasikan kita, dan membebaskan
diri kita dari
penjara nafsu kita.
Wara’ adalah awal dari ketaqwaan kita.
Wara’ akan menghantar kita terus menerus
memandang Allah dalam
setiap hal-hal
yang halal. Karena itulah Wara’ akan mendorong kita untuk
terus bersyukur,
sebab dibalik yang kita pandang, ada Nama Allah di sana .
Wara’ adalah nuansa majlis Ilahi. Karenanya
Abu Hurairah mengatakan,
“Orang-orang
yang berada di majlis Allah kelak, adalah ahli wara’ dan
Zuhud.”
Wara’ membuat manusia tidak dzalim, karena
ia senantiasa berbuat
adil,
proporsional, dan wajar.
Wara’ menjauhkan kita dari KKN.
Khalifah Umar
bin Abdul Aziz adalah pemimpin dan presiden yang Wara’,
karena itu ia
tidak mau menyalakan lampu milik Negara, ketika seorang
berbicara
dengannya di luar urusan Negara.
Fenomena Wara’
di abad ini, ibarat benda di tengah keterasingan gurun
yang gersang.
Benda aneh, karena manusia modern justru nestapa dengan
kemodernannya,
hanya karena manjauhi kewara’an sehari-hari. Lalu
individu-individunya
mengabaikan moralitas, keluarganya berantakan, tatanan
sosialnya
hancur, hokum direkayasa, keadilan dirobohkan, kekuasaan
dijadikan
berhala. Itulah kewara’an yang terlempar di kesunyian manusia
modern.
Coba kita tengok
di jendela luar sana .
Tragedi manusia modern itu:
Mereka mulai terasing dengan Allah, dan merasa
tersentak ketika
nama Allah
disebut, bahkan sampai pada titik sinis, ketika Nama Allah
diungkapkan.
Mereka berselingkuh dengan hasrat-hasrat
duniawi, lalu
mengabaikan
Allah, kemudian melupakan Allah sama sekali.
Mereka memburu fatamorgana, walau pun
berkali-kali mereka
menderita karena
angan dan imajinasinya, toh tetap saja mereka ulangi
tindakannya itu.
Mereka diseret oleh kegilaan-kegilaan
atasnama kebebasan dan
kepuasan,
sebagai wujud eksistensi yang dibanggakan.
Mereka terjebak oleh sebuah permaian,
game, dan perjudian pasar
bebas, sampai
tingkat politik paling mengerikan:membunuh sesama,
menghisap darah
sesama, dan mengekploitasi sumber alam secara membabi buta.
Allah dijadikan sebagai lambang bendera,
kadang dikibarkan
seperti upacara
bendera, lalu diturunkan, untuk sekadar basa-basi religius.
Manusia modern telah kehilangan harga
dirinya paling mahal:
Fitrahnya
sebagai manusia, hamba Allah.
Kewara’an telah
sirna dari mereka, karena sikap wira’I dianggap sebagai
ancaman dari
kebebasan.
No comments:
Post a Comment