Pernahkah
kita membayangkan betapa masyarakat muslim dewasa ini bisa sedemikian permisif
dengan perilaku yang melanggar syariat Allah SWT.
Pernahkah
kita bertanya bagaimana semua ini dapat terjadi.
Sering kita
dengar dari orang tua kita betapa dulu sangat sulit melihat orang berbuat
maksiat terang-terangan.
Hari ini
bahkan selain melakukan maksiat terang-terangan, banyak juga orang-orang ‘well
educated’ bahkan memberi dukungan atas menyebarnya kemaksiatan tersebut.
Untuk
menjawab pertanyaan tersebut mari kita renungkan sebuah hadits yang cukup
panjang dari baginda Nabi Muhammad Salallahu ‘alaihi wasalam.
Abu Nu’aim
berkata kepada kami, Zakaria berkata kepada kami, ia berkata: “Aku telah
mendengar ‘Amir, ia berkata: Aku telah mendengar An-Nu’man bin Basyir r.a. dari
Nabi saw beliau bersabda: “Perumpamaan orang yang teguh menjaga
larangan-larangan Allah SWT dan orang yang melanggar larangan-larangan-Nya
seperti sekelompok orang yang berebut naik ke dalam sebuah perahu. Maka
sebagian mereka dapat bagian atas kapal dan sebagian lainnya mendapat bagian
bawah. Para penumpang yang berada di bagian bawah kapal jika memerlukan air
harus melewati para penumpang yang berada di atas. Kemudian penumpang yang
berada di bawah itu berkata: “Seandainya kami lubangi tempat duduk kami satu
luang saja, maka kami tidak usah lagi mengganggu para penumpang yang berada di
atas”. Apabila penumpang lainnya membiarkan mereka dengan apa yang mereka
kehendaki, niscaya hancurlah seluruh penumpang kapal. Dan apabila penumpang
lainnya mencegah tangan mereka dari upaya melubangi kapal, niscaya selamatlah
seluruh penumpang kapal”.
Takhrij
Hadits
Hadits ini
dikeluarkan oleh Al-Bukhory dalam “Asy-Syahaadaat” dari ‘Umar bin Hafsh bin
Ghiyats dari ayahnya dari Al-A’masy dari Asy-Sya’by. Dan dikeluarkan oleh
At-Tirmidzi dalam “Al-Fitan” dari ahmad bin Mani’ dari Abu Mu’awiyah dari
Al-A’masy, dan ia berkata: Hadits ini Hasan Shohih.[2]
Bagi
sebagian orang hadits tersebut merupakan perintah amar ma’ruf nahi munkar.
Sehingga setiap orang diminta untuk melaksanakannya.
Namun mari
kita telaah lebih lanjut maka akan kita dapatkan bagaimana sebuah kemaksiatan
menjadi sebuah penyakit sosial dan kemudian bahkan dianggap budaya. Kalimat “Seandainya
kami lubangi tempat duduk kami satu luang saja, maka kami tidak usah lagi
mengganggu para penumpang yang berada di atas” menggambarkan suatu kondisi
awal terjadinya kemaksiatan yaitu:
- Adanya anggapan baik terhadap
suatu wacana kemaksiatan
- Adanya pembiaran pada tahap
wacana kemaksiatan di kalangan terdekat (para penumpang di bagian bawah)
- Tidak adanya kepekaan pada
kemungkinan munculnya kemaksiatan di kalangan yang terkait secara tidak
langsung dengan para pelaku kemaksiatan.
Ilustrasi
sederhananya sebagai berikut…
Dalam sebuah
masyarakat yang taat dan patuh terhadap sebagian besar perintah dan larangan
Allah, tidak mustahil muncul informasi betapa nikmatnya minum khamr. Jika
informasi ini dibiarkan maka melekatlah dalam persepsi masyarakat. Kemudian
seorang, ya hanya seorang pemuda merasa penasaran untuk mencoba minum khamr. Tentu
saja dia tidak berani melakukannya di tengah masyarakatnya yang demikian taat
dan mengharamkan khamr. Maka dia pun mencobanya di kampung yang membolehkan
khamr.
Orang tua
sang pemuda karena kelalaiannya tak mengetahui bahwa sang pemuda
diam-diam pergi ke kampung seberang untuk mencoba khamr. Dan tatkala pemuda itu
sudah dirasuki minuman memabukkan tersebut lambat laun muncul keberaniannya
untuk mencoba di rumahnya.
Orang tuanya
pun kemudian marah dan menasehatinya. Namun pemuda itu tetap pada pendiriannya.
Maka melunaklah orang tuanya dan mengatakan bahwa ia boleh minum tapi hanya di
rumah saja.
Kemudian
berlalulah masa, pemuda yang sudah dirasuki khamr tersebut semakin berani. Ia
kemudian meminumnya di halaman rumahnya. Orang tuanya pun kemudian marah dan
menasehatinya. Namun pemuda itu tetap pada pendiriannya. Maka melunaklah orang
tuanya dan mengatakan bahwa ia boleh minum tapi hanya sampai halaman rumah
saja.
Kemudian
berlalulah masa, pemuda yang sudah dirasuki khamr tersebut semakin berani. Ia
kemudian meminumnya di tempat kumpul para pemuda. Warga pun kemudian marah dan menasehatinya.
Namun pemuda itu tetap pada pendiriannya. Maka melunaklah para warga dan
mengatakan bahwa ia boleh minum tapi hanya untuk dirinya saja.
Jika ini
dibiarkan maka perilaku pemuda ini menggugah pemuda lain melakukan hal serupa,
dan jika masyarakat membiarkannya maka terjadilah apa yang disebut wabah
kemaksiatan.
Demikian
halnya dengan merebaknya perzinaan, homoseksualisme, korupsi, tattoo, dan
berbagai kemaksiatan lainnya melalui proses yang serupa.
Syekh
Muhammad Quthb mengingatkan kita tentang wabah kemaksiatan yang terjadi karena
tidak pedulinya masyarakat terhadap kemaksiatan yang dianggap remeh. Dan saat
wabah sudah terjadi maka sesungguhnya kerugiannya tidak sekadar kerugian moral
melainkan akan berimbas pada kehancuran material. Dan kehancuran peradaban
hanya soal waktu.
Betapa
banyak peradaban besar yang binasa dikarenakan dekadensi moral sudah menjadi
budaya. Kaum Samud, kaum Aad, dan bangsa-bangsa besar lainnya yang harus rela
kehilangan kejayaannya disebabkan mereka membiarkan bibit kemaksiatan tumbuh.
Oleh sebab
itu, teguhlah kita dalam menjaga larangan-larangan Allah kepada anak-anak kita
dan orang-orang yang dalam wewenang kita. Sebagaimana mereka ‘bersabar’ untuk
mendapat izin dari kita untuk bermaksiat maka kita pun akan bersabar untuk
mencegah mereka agar tidak melanggar larangan-larangan Allah tersebut.
Jika kita
enggan bersabar atau tidak peduli..
Maka
sesungguhnya kita sedang menggali kuburan besar. Yaitu kuburan bagi kita dan
masyarakat beradab yang kita tinggali hari ini. Surat Al-Anfal ayat 25 patut
menjadi bahan renungan kita selanjutnya..
“Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang
tidak khusus menimpa orang-orang yang dzalim saja di antara kamu. Dan
ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya”
Wallahu A’lam.
No comments:
Post a Comment