Pada suatu hari ada seorang pemuda yang
datang ke rumah seorang kakek yang bijaksana. Pemuda tersebut merasakan hatinya
sering gelisah, panik, stress, dan mudah tersinggung sehingga hal itu
menyebabkannya selalu berada dalam medan
konflik. Untuk itulah ia datang untuk meminta nasehat sang kakek. Kakek itu pun
dengan sangat antusias menerima dan mempersilahkannya untuk masuk. Kemudian
pemuda itu menceritakan seluruh keluh kesahnya. Sementara sang kakek
mendengarkan dengan seksama. Setelah selesai, kakek itu masuk ke dalam rumah
kemudian keluar dengan membawa segelas air putih.
"Silahkan diminum” kata sang kakek.
"Silahkan diminum” kata sang kakek.
Betapa terkejutnya pemuda itu ketika ia
meminum air yang dihidangkan oleh kakek itu.
“Ah… air apa ini kek? Kenapa rasanya asin sekali. Aku belum pernah minum air se-asin ini”.
Sang kakek hanya tersenyum, kemudian mengajak pemuda tersebut ke halaman belakang rumahnya yang luas. Disana terdapat sebuah danau kecil yang airnya bening bersih. Terlihat pula seekor angsa berenang kian kemari. Sang kakek kemudian mendekati pinggir danau dan menaburkan segenggam garam ke seluruh danau sambil menyuruh pemuda itu minum air danau. Tentu saja pemuda itu merasakan air danau yang segar, sejuk dan jernih.
“Ah… air apa ini kek? Kenapa rasanya asin sekali. Aku belum pernah minum air se-asin ini”.
Sang kakek hanya tersenyum, kemudian mengajak pemuda tersebut ke halaman belakang rumahnya yang luas. Disana terdapat sebuah danau kecil yang airnya bening bersih. Terlihat pula seekor angsa berenang kian kemari. Sang kakek kemudian mendekati pinggir danau dan menaburkan segenggam garam ke seluruh danau sambil menyuruh pemuda itu minum air danau. Tentu saja pemuda itu merasakan air danau yang segar, sejuk dan jernih.
Sang kakek berkata, "Perumpaan gelas
dan danau ini adalah seperti hati kita, dan garam sebagai permasalahannya.
Terkadang bukan banyaknya masalah yang membuat hati resah, gelisah, dan
lainnya. Tetapi karena kita tidak pandai melapangkan dada kita. Segenggam garam
ternyata jadi sangat asin dan tidak enak apabila ditaruh pada segelas air.
Namun segenggam garam tidak berarti apa-apa apabila kita memiliki hati seluas
danau atau lebih luas dari itu".
Cerita diatas sangat menarik untuk disimak
dan diresapi karena begitu mudahnya penyakit hati tumbuh berkembang di hati
kita. Beratnya masalah tidak mempengaruhi kesehatan hati kalau kita bisa
berlapang dada. Orang–orang yang sempit dada (hati), pasti akan merasakan hidup
ini sumpek dan berat.
Hati adalah hal yang paling penting dari
diri manusia. Menurut Ibnul Qayyim Al Jauziyah, Hati adalah raja, dan anggota
tubuh lain prajuritnya. Bahkan diterima atau tidaknya amal seorang anak
manusia, tergantung dari hatinya. Allah mengingatkan kita mengenai pentingnya
mengelola hati dengan menyuruh kita untuk tidak bersu’udzon karena
sebagian darinya adalah dusta. Kita juga dilarang untuk mencari tahu (tajassus),
serta selalu mengkonfirmasisetiap berita yang masuk ke kepala kita.
Rasulullah-pun mengingatkan bahwa di dalam
diri manusia ada segumpal daging yang kalau baik daging itu maka baik pula
seluruh tubuh dan apabila jahat (jelek) maka jelek pula seluruh tubuh. Segumpal
daging itu adalah hati.
Kadang rasanya berat sekali untuk
melapangkan dada ini ketika dikecewakan dan disakiti oleh orang lain. Bahkan
persoalan kecilpun akhirnya menjadi besar karena sempitnya hati ini. Hati yang
sempit selalu membuat diri ini tidak mampu menerima kebenaran.
Dalam
konsep Zeromind Process (Ary Ginanjar, ESQ) kita diingatkan untuk selalu
kembali ke fitrah atau hati nurani (Zeromind) sebelum melakukan dan memutuskan
apapun. Hal–hal yang biasanya menghambat dalam melapangkan dada diantaranya
adalah: prasangka negatif, pengaruh prinsip hidup, pengaruh pengalaman,
pengaruh pembanding, pengaruh kepentingan dan prioritas, pengaruh sudut pandang,
dan pengaruh literatur. Wallahu ’alam
No comments:
Post a Comment