Sunnah secara bahasa berarti Thariqah (jalan atau cara yang terpuji dan lurus), karenanya
jika disebutkan bahwa “Fulan min ahli as-sunnah” (si fulan termasuk orang ahlu sunna) -secara bahasa- maknanya: Seorang yang menempuh
jalan atau cara yang lurus dan terpuji[1].
Sunnah juga bermakna as-sirah (biografi) yang baik
maupun yang buruk.[2]
Adapun menurut istilah, sunnah memiliki beberapa
pengertian, di antaranya: Sunnah berarti biografi Rasul[3]. Sunnah juga berarti: Apa yang datang dari Nabi berupa
perkataan, perbuatan dan keputusan.[4] Sunnah juga bermakna: Jalan yang ditempuh oleh Nabi dan para
sahabatnya, yang terhindar dari syubhat dan syahwat, terutama dalam hal keyakinan (iman kepada Allah, Malaikat, Kitab, Rasul
dan Hari Akhir, serta Qodar, keutamaan para sahabat … )[5].
Sementara Ahlu Sunnah menurut Ibnu Hazm dan
Ibnu Jauzi: “adalah orang yang berada dalam kebenaran. Lawannya adalah ahlu bid’ah, mereka itu adalah para sahabat dan orang-orang yang
mengikuti jalan mereka dari kalangan orang-orang terbaik tabi’in, lalu ahli
hadis, yang selanjutnya diikuti oleh para fuqaha’, dari masa ke masa
hingga hari ini, serta orang-orang yang mengikuti mereka dari timur hingga
barat”.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Ahlu Sunnah adalah mereka yang
mengikuti dan berpegang teguh pada sunnah; mereka itu adalah para
sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari akhir.
Penamaan Ahlu Sunnah menurut Ibnu Taimiyah dan Abu
al-Mudzaffar al-Isfiraini muncul karena mereka mengikuti sunnah Rasulullah Saw., berdasarkan sabda Rasulullah saat
ditanya tentang al-firqah an-najiyah (kelompok yang selamat)
beliau menjawab: “Mereka adalah orang yang mengikutiku dan para sahabatku”.
Kriteria di atas –menurut al-Isfiraini- sangat relevan dengan kelompok Ahlu
Sunnah yang ada sekarang, karena merekalah orang-orang yang getol memahami,
mengajarkan serta melaksanakan Sunnah Rasulullah dan para Sahabat, sehingga
orang-orang yang suka mencaci dan menghujat para Sahabat dari kelompok Khawarij
dan Syi’ah serta kelompok-kelompok lain, secara otomatis tidak termasuk dalam
kategori tersebut[6].
b. Definisi Jamaah
Ahlu Sunnah juga sering dijuluki al-Jama’ah, sehingga penyebutan
yang lengkap bagi mereka adalah ahlu as-sunnah wa al-jama’ah. Makna jamaah sebagaimana dijelaskan oleh hadits Bukhari
dan Muslim adalah: Mereka yang selalu berusaha untuk menyatu (mengintegrasikan
diri) dengan komunitas umat Islam dan imamnya”[7].
Jamaah juga bermakna “Yang mengikutiku (Rasulullah Saw) dan sahabat-sahabatku”.[8].
Makna lain dari jamaah adalah “Apa yang sesuai dengan kebenaran walaupun engkau
sendirian”.[9].
Ibnu Hajar al-Asqalani di dukung oleh Ibnu Taimiyah menambahkan unsur lain dalam makna jamaah
yaitu: unsur al-ijtima’ wa adam
at-tafarruq (pertemuan/kesatuan dan tidak berselisih), dalam arti keinginan untuk
selalu bersatu dalam komunitas muslim, dan berusaha keras untuk menjauhi
perselisihan dengan tetap dalam jamaah dan berpegang teguh dengan Al-Quran,
Sunnah serta Ijma’.[10]
Berdasarkan pemahaman ini, tahun di mana Imam Hasan turun tahta dan
menyerahkan tapuk kepemimpinan kepada Mu’awiyah –sebagaimana dijelaskan oleh
Ibnu Bathutha- disebut am al-jamaah (tahun persatuan).[11]
Dengan demikian pengertian al-jama’ah adalah komunitas yang
berpegang kepada kebenaran, dengan mengikuti Rasul dan para Sahabat, selalu
menyatu (mengintegrasikan diri) dengan komunitas umat Islam dan imamnya,
mencintai persatuan dan membenci perselisihan.
c. Definisi Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan jamaah adalah komunitas yang berpegang teguh kepada
kebenaran, selalu berusaha untuk bersatu serta tidak menyukai perselisihan.
Pengertian ini sesuai dan sejalan dengan makna sunnah sebagaimana dijelaskan di muka yaitu jalan yang telah
digariskan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya, serta yang mengikuti mereka
hingga akhir zaman.
Dengan demikian lafal sunnah dan jamaah jika berpisah maka maknanya sama atau satu, namun jika
bersatu maka maknanya berbeda; As-Sunnah berarti jalan yang telah
digariskan oleh Rasulullah, sementara al-jama’ah artinya jamaatu al-muslimin (komunitas umat Islam) yang selalu
berpegang kepada kebenaran, yaitu para Sahabat, Tabi’in, dan yang mengikuti
mereka hingga akhir zaman. Untuk itu penyebutan ahlu sunnah wa al-jama’ah sering disingkat dengan ahlu sunnah saja
tanpa jamaah, karena maknanya telah mencakup makna yang terkandung dalam lafal
al-jama’ah.
d. Kapan Pertama Kali Muncul Penamaan Ahlu Sunnah wa
al-Jama’ah
Dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa Ahlu Sunnah wa
al-Jama’ah adalah nama lain dari Islam itu sendiri. Untuk itu istilah ini tentu saja
tidak muncul dan tidak perlu dimunculkan di awal-awal penyebaran Islam kecuali
dalam batas penjelasan terhadap makna Islam itu sendiri; karena kandungan lafal ahlu as-sunnah wa al-jama’ah sesungguhnya telah
terangkum dalam lafal Islam tersebut.
Ini artinya bahwa komunitas muslim awal tidak dijuluki kecuali dengan
sebutan “Muslim” saja, karena komunitas Muslim saat itu masih dalam koridor
kebenaran, yaitu jalan yang digariskan oleh Rasul dan para sahabat senior,
sehingga mereka bersatu dalam keyakinan (keimanan), manhaj al-fikri (metodologi
pemikiran/frame work), ide dan cita-cita, sistem, serta bersama dalam gerak dan
langkah. Belum dikenal saat itu Muslim Sunni atau Syi’i, atau Zaidi, atau Khawariji, atau Mu’tazili dan seterusnya.
Penamaan ini baru muncul setelah terjadi perselisihan yang menyebabkan umat
Islam terpecah belah. Maka untuk mengidentifikasi kelompok yang tetap dalam
jalan Rasul dan para sahabat RA, para ulama’ merasa perlu untuk memunculkan
penamaan terhadap kelompok ini guna membedakannya dengan kelompok lain yang
telah melenceng dari jalur yang benar atau dari ajaran yang murni[12].
Walaupun tidak menunjuk -secara spesifik- tahun munculnya terminologi Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah tersebut, namun Prof. Dr. Mustafa Hilmi
–Guru Besar Filsafat Islam dari Darul Ulum, Universitas Kairo Mesir- menengarai
bahwa awal munculnya istilah ini adalah pasca terjadinya peristiwa al-hakamain dalam perang Shiffin yang berakhir dengan munculnya kelompok pertama dalam
Islam yaitu “Khawarij“, yang disusul dengan munculnya Syi’ah, dan beragam kelompok
lainnya seperti Murji’ah, Mu’tazilah, jabariyah, Qodariyah, Hasywiyah, Jahmiyyah, Zaidiyah,
Ismailiyah, dan seterusnya.[13]
Di tengah-tengah munculnya berbagai aliran keagamaan-politik, yang nota
benenya telah terkontaminasi dan terinfiltrasi dengan beragam ajaran dan pemikiran
di luar Islam itulah para ulama’ perlu memunculkan nama khusus untuk membedakan
dengan aliran-aliran tersebut. Nama yang dianggap paling representatif di
samping memiliki legalitas (syar’i) yang tinggi adalah Ahlu Sunnah wa al-jama’ah.
Berbeda dengan pendapat Prof. Dr. Musthafa Hilmi, Prof. Dr. Mustafa Syak’ah
menengarai bahwa terminologi Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah baru muncul pada abad ke
Tujuh Hijriah, tepatnya empat abad setelah wafatnya Imam Ahmad bin Hambal[14]. Sementara Amir Ali menyimpulkan bahwa nama ini
muncul pada masa khilafah Abbasia, tepatnya pada masa al-Mansur dan Harun ar-Rasyid. [15]
Kedua pendapat ini dibantah oleh Dr. Nashir bin Abdullah Ali al-Qoffari.
Menurutnya istilah Ahlu Sunnah sudah mulai muncul pada
saat terjadinya fitnah dan munculnya bid’ah di masa khalifah Utsman bin Affan[16].
Ini menunjukkan bahwa Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah tidak muncul dan
berkembang di kemudian hari seperti halnya kelompok-kelompok dan aliran
lainnya, namun muncul seiring dengan kemunculan Islam karena merupakan
representasi dari Islam yang diajarkan oleh Rasulullah dan Para Sahabat.
Namun demikian –menurut hemat penulis- jika yang dimaksud kemunculan di
sini adalah kepopuleran nama tersebut, maka pendapat Dr. Musthafa Sak’ah dan
Amir Ali lebih tepat; Artinya istilah Ahlu Sunnah ini sebenarnya telah muncul
semenjak abad pertama hijriah, namun baru populer dan menjadi trade mark bagi
sebuah kelompok di kemudian hari -sebagaimana disinggung oleh Dr. Sak’ah dan
Amir Ali di atas- akibat munculnya banyak kelompok yang telah menyimpang.
Bersambung…
—
Catatan Kaki:
[1] Jamaluddin Muhammad bin Makram bin
Mandzur, Lisan al-Arab, (Kairo, at-Thab’ah
al-Amiriyah, 1303 H) hal. 17/90
[2] Ahmad bin Muhammad al-Fayyumi, Al-misbah
al-munir, (Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1398 H), hal. 1/312; H.R. Muslim,
Kitab: al-ilm, Bab: Man sanna sunnatan hasanatan au sayyiatan, No. 4830
[3] Ahmad bin Faris bin Zakariya al-Qazwini,
Mu’jam Maqoyis al-Lughah, (Kairo-Mesir, Musthafa al-Babi a-Halaby, Cet. II,
1389 H.), hal. 1/312; Muhammad bin Abi Bakar ar-Razi, Mukhtar as-Shihhah,
(Beirut, Dar al-Kitab al-Arabi, cet. I. 1979), hal: 317.
[4] Ibnu Hajar, Fathu al-Bari, hal. 13/245;
al-jazairi, Taujih an-Nadzar, hal: 3 (ini adalah definisi para Ahli Hadits)
[7] (Dari Hudzaifah bin al-Yaman Rasulullah
Saw bersabda: ” … Hendaknya engkau bersama Jamaah (komunitas) umat Islam
dan imam mereka …) HR. Bukhari, Kitab: al-Manaqib, Bab: Alamat an-nubuwwah fi
al-Islam, No: 3338; Muslim, Kibab: al-Imarah, Bab: Wujub mulazamat jamaati
al-muslimin, inda dzuhur al-fitan, No: 3434
[9] (Abu Syamah menjelaskan: “Dimana datang
perintah untuk selalu bersama jama’ah, maknanya adalah
perintah untuk mengikuti kebenaran dan pengikutnya, walaupun jumlahnya sedikit
sementara penentangnya cukup banyak, karena kebenaran adalah hal yang dipegang
oleh komunitas pertama di masa Nabi Saw dan para sahabat, tanpa melihat
jumlah pengikut kebatilan setelahnya”) Al-la lakai,Kaasifu al-ghummah fi I’tiqad Ahli Sunnah, hal: 9
[10] Ibnu Taimiyah, al-Fatawa, hal: 3/346, 157
(Ibnu Taimiyah berkata: “Barang siapa berpegang pada al-Quran, Sunnah dan
Ijma’, maka digolongkan kedalam kelompok Ahlu Sunnah wa
al-Jama’ah” “Karena jama’ah itu artinya al-ijtima’ (bersatu/bertemu),
lawannya al-furqah (berselisih) … mereka
selalu menakar seluruh perkataan dan perbuatan manusia yang ada hubungannya
dengan agama dengan tiga hal tersebut”); Ibnu Hajar, Fathu al-Bari, hal: 7/73. (Dalam menjelaskan perkataan
Imam Ali : “Putuskan masalah itu seperti yang biasa kalian putuskan, karena
sesungguhnya aku membenci perselisihan, hingga manusia (bersatu)”. Ibnu Hajar
menjelaskan: Maksud dari “fainni akrahu al-ikhtilaf” (sesungguhnya aku
membenci perselisihan) artinya tidak suka hal yang menyebabkan perselisihan,
Atau perbedaan yang menyebabkan terjadinya perselisihan dan timbulnya fitnah)
[11] Ibnu Hajar, Fathu
al-Bari, Ibid, hal: 13/63 (Dalam hal ini Ibnu Baththal –sebagaimana dinukil
oleh Ibnu Hajar- berkata: “Imam Hasan menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada
Mu’awiyah, dan membaiatnya untuk menegakkan Kitab Allah dan Sunnah Nabi, maka
saat Mu’awiyah memasuki kota Kufah, semua penduduk membaiatnya, karenanya tahun
itu disebut dengan tahun jamaah(persatuan) karena
dengan itu umat Islam bersatu dan peperangan berhenti”)
[16] Dr. Nashir bin Abdullah bin Ali
al-Qoffari, Masalatu at-taqrib baina Ahlu
as-Sunnah wa as-Syi’ah, (Riyadh, Dar at-Thiba, Cet. VI, 1420 H)
hal: 1/44 (Dr. Qoffari memperkuat argumennya dengan perkataan Ibnu Sirin
–sebagaimana dikutip oleh Imam Thabari-, yang mengatakan: “Mereka tidak
bertanya tentang sanad, namun setelah terjadinya fitnah mereka berkata:
Sebutkan orang-orang yang meriwayatkan hadits kalian, apabila mereka termasuk
ahlu sunnah, maka haditsnya bisa diambil, jika tergolong Ahlu Bid’ah, maka
haditsnya tidak boleh diambil”. Al-Khotib, al-Kifayah, hal: 122 )
No comments:
Post a Comment