"Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan
kepada orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al-Kitab
(Taurat dan Injil), semua ayat (keterangan), mereka tidak akan mengikuti
kiblatmu, dan kamu pun tidak akan mengikuti kiblat mereka, dan sebagian dari
mereka pun tidak mengikuti kiblat sebagianyang lain. Dan sesungguhnya
jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu,
sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan orang-orang yang
zalim".(QS. 2:145)
Ayat ini menjelaskan tentang pengingkaran ahli kitab
untuk mengikuti kiblatnya kaum muslimin. Kalau kita perhatikan pada ayat lain,
sebenarnya Ahli Kitab ini jelas-jelas mengenal Rasulillah SAW. Allah SWT
berfirman :
Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri
Al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal
anak-anaknya sendirir. Dan sesungguhnya sebagian di antara mereka
menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui. (QS. 2:146).
Ayat 146 dari Qs. Al-Baqoroh menggambarkan bahwa
pengenalan Ahli Kitab kepada Rasulullah Muhammad SAW itu sebagaimana mereka
mengenal anaknya sendiri. Jadi sangat kenal. Namun demikian, ketika Rasulullah
Muhammad SAW di utus kepada seluruh manusia, mereka seolah-olah tidak tahu.
Mereka mengingkarinya. Mereka tidak mau mengikutinya.
Ahli Kitab mengetahui tentang kebenaran
kerasulan Muhammad SAW, bahwa beliau benar-benar utusan Allah. Tetapi mereka
tidak mengakui kiblatnya,tidak mengakui kebenarannya, tidak mengikuti jalan
hidupnya, seperti yang tercantum pada awal ayat ini :
"Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada
orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al-Kitab
(Taurat dan Injil), semua ayat (keterangan),
mereka tidak akan mengikuti kiblatmu..."
Mengapa Ahli kitab mengingkari kerasulan Muhammad
padahal mereka mengetahui bahwa perilakunya itu salah ? Mereka melakukan itu
karena tidak bisa lepas dari hawa nafsunya ('adamu tajrid 'anil hawa). Ketika
totalitas hidupnya tidak diserahkan kepada Allah, walaupun dia tahu tentang suatu
kebenaran,dia tidak mau mengikutinya. Ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) ini tahu
bahwa Rasulullah SAW itu utusan Allah, jelas dalam kitab mereka diterangkan hal
tersebut.
Mengukur seseorang dari pengetahuannya semata tidak
cukup. Buktinya adalah Yahudi dan Nasrani tahu dan mengenal tentang Muhammad,
tetapi mereka tidak beriman kepada Rasulullah SAW. Keimanan mereka kepada Allah
patut diragukan. Imannya kepada Allah tidak total sehingga ketika Allah
menentukan Muhammad yang dipilih sebagai Rasulnya, mereka tidak bisa
menerima. Mereka tidak bisa melepaskan dirinya
dari hawa nafsunya, dari kepentingannya. Hawa nafsu mereka menginginkan agar
Allah menunjuk Rasul dari golongannya. Mereka hanya mentaati Allah jika sesuai
dengan hawa nafsunya.
Sikap Ahli kitab ini merupakan pelajaran bagi kita
untuk senantiasa mengingatkan diri kita dan masyarakat kita agar tidak
menjadikan tingginya ilmu yang dimiliki oleh seseorang sebagai standar
ketinggian derajat seseorang atau suatu kaum. Fenomena ahli kitab ini adalah fenomena
tentang lapisan masyarakat yang terpelajar yang melakukan pelanggaran dan
penyimpangan. Banyak ummat Islam yang tahu bahwa sesuatu itu halal, atau haram,
tetapi mereka melanggarnya. Mereka masih berbuat maksiyat. Mereka belum bisa
melepaskan seluruh pengaruh hawa nafsunya.
Bukankah orang yang minum minuman keras itu pada
umumnya mereka tahu kalau minum minuman keras itu haram ? Mereka tahu. Tetapi
mereka melanggarnya.Hawa nafsu telah mendominasi dirinya. Orang yang korupsi
atau kolusi, bukankah mereka terpelajar yang mengetahui bahwa korupsi dan
kolusi itu termasuk kema'siyatan ?. Ketika mereka masih jadi pelajar atau
mahasiswa mungkin ikut dalam demonstrasi anti korupsi atau kolusi. Tetapi
ketika dia yang berkesempatan untuk melakukan korupsi dan kolusi, mereka
melakukannya juga. Ini semua bukan berarti dia tidak tahu yang halal dan yang
haram, akan tetapi hawa nafsu dan kepentingan berperan sangat dominan pada
dirinya.
Berdakwah kepada orang-orang yang sudah pernah belajar
Islam kadang-kadang lebih sulit daripada yang sama sekali belum pernah belajar
Islam. Orang yang pernah belajar Islam, baik di Pesantren, di Perguruan Tinggi,
atau di tempat lain, mereka merasa seolah-olah ilmu yang didapatkannya telah
cukup baginya untuk selamat dari adzab Allah. Kalau diingatkan ketika dia
berbuat ma'siyat, merasa lebih pintar daripada yang mendakwahi. Orang-orang
yang mempunyai pandangan semacam ini sulit untuk menerima kebenaran yang
dikemukakan orang lain.
Ketika menghadapi orang yang demikian, kita
disuruh berjidal atau berdebat seperti kata Allah dalam surat An-Nahl ayat 125:
"Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran
yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Rabbmu
Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk" (Qs.An-Nahl 125)
Ahli tafsir mengatakan bahwa berdakwah dengan
wajadilhum billati hiya ahsan itu ditujukan kepada ahli kitab dan orang-orang
yang berilmu tetapi mereka tidak mau mengikuti kebenaran Islam. Kenapa kita
tidak disuruh menda'wahi mereka dengan nasehat? Karena nasehat sangat tepat
jika ditujukan kepada orang yang tidak tahu. Memang benar bahwa nasehat itu
untuk semua manusia, tetapi nasehat akan mudah diterima bagi orang yang memang
tidak tahu. Bagi orang yang sudah tahu tentang sesuatu tetapi dia tidak mau
mengamalkan kebenaran yang diketahuinya, kita harus berda'wah kepadanya dengan
berjidal dengan cara yang ahsan.
Ketika Ahli Kitab tidak mau mengikuti Rasulullah SAW,
apa sikap beliau ? Apa beliau harus mengalah ? Ternyata tidak. Allah mengatakan
(dan tidaklah kamu mengikuti kiblat mereka).
Dalam ilmu lughoh, kalimat itu disebut jumlatul
ismiyat yang bermakna tetap eksis dan kontinyu. Ini mengandung arti bahwa
dalam hal apapun jangan sekali-kali kita mengikuti kiblatnya Ahli Kitab. Dan
ini berlaku untuk selama-lamanya.
Pesan Allah ini pada realitanya belum kita laksanakan
dengan baik. Sistem ekonomi kita meniru mereka, sistem politik juga meniru
mereka dan sistem pendidikan juga demikian. Sisi yang lainnya dalam hidup kita
juga banyak meniru mereka.
Dalam bidang pendidikan misalnya, sistem pendidikan
kita banyak diwarnai dengan ikthilat. Padahal jika kita bicara tentang sistem
pendidikan Islam yang diterapkan dari jaman Rasul sampai jaman generasi
yang menjadikan Islam sebagai petunjuk hidupnya, tidak ada sekolah yang
memperbolehkan ikhtilat, yang mencampurkan antara laki-laki dan perempuan. Ada
yang mengatakan bahwa itu dilakukan dengan alasan darurat. Mereka
berpikiran jika antara laki-laki dan perempuan dipisah, nanti gurunya banyak,
lalu menggajinya dari mana ? Padahal sesuatu yang darurat itu ada batasnya.
Tidak bisa sampai mati masih menggunakan alasan darurat. Dalam aturan Islam,
ketika kita diperbolehkan makan bangkai karena kita lapar, setelah kita makan
dan sudah cukup menghilangkan lapar, kita tidak diperbolehkan meneruskan makan
dengan alasan darurat.
Ummat Islam yang tidak memahami ayat semacam ini
sangat mudah terjebak mengikuti cara hidup Ahli Kitab. Padahal
jelas-jelas Allah mengatakan (
janganlah kalian mengikuti kiblat mereka). Penegasan Allah ini tidak kebetulan.
Bukan berarti kalau suatu saat kita menganggap bahwa kondisinya lain, kita
boleh mengikuti mereka. Tidak ada begitu.
Sebaliknya Allah mengatakan (sebagian mereka tidak mau
mengikuti sebagian yang lain). Yahudi dan Nasrani pada dasarnya selalu ribut,
hanya kita saja yang tidak mengetahui. Sebenarnya kepentingan-kepentingan
Yahudi dan Nasrani sering bertabrakan. Dalam melakukan lobi-lobi di Amerika
misalnya, mereka selalu "cakar-cakaran". Demikian pula dalam banyak
hal lainnya.Tetapi ketika menghadapi Islam mereka bersatu.
Selanjutnya Allah mengatakan :
"...Dan sesungguhnya jika
kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu yaitu
Al-Qur'an, Al-Islam, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan
orang-orang yang zalim..."
Rasulullah SAW saja kalau mengikuti selera Ahli Kitab
termasuk orang yang dholim, apalagi kita yang tidak ada hubungan darah dengan
Rasulullah SAW. Dalam Islam tidak ada basa-basi. Siapapun yang menentang ajaran
Allah, dia adalah dholim. Ini pernyataan yang tegas dari Allah yang harus kita
taati. Kita jangan suka berstrategi untuk menyiasati aturan Allah ini. Kita
tidak usah takut manusia akan lari jika kita mentaati aturan Allah ini. Jangan
sampai kita mengatakan "Pak, mereka tidak mau ikut kalau kita begitu....
Pak, kalau kita tidak begini nanti tidak diterima
masyarakat". Dakwah ini harus dilakukan dengan mengikuti jalan Allah,
bukan untuk mengikuti selera masyarakat. Memang boleh kita mempertimbangkan
sesuatu untuk kemashlahatan, sepanjang tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip yang digariskan oleh Allah SWT. Kita sekarang ini terlalu
banyak membuat kebijakan-kebijakan tanpa memperhatikan dasar-dasar 'aqidah yang
digariskan Allah. Mungkin kita khawatir jika selalu berpegang pada prinsip yang
digariskan Allah malah sulit diterima masyarakat. Kekhawatiran ini tidak
berdasar. Rasulullah SAW juga ketika berdakwah, awalnya memang tidak diterima
masyarakat. Tetapi beliau tetap berpegang pada prinsip yang digariskan Allah.
Dan hasil yang dicapai Rasulullah dengan izin Allah sedemikian menakjubkan.
Ini menegaskan agar nilai yang kita anut harus tetap.
Nilai yang kita pegang itu adalah ajaran Allah SWT, bukan selera masyarakat.
Ketika Allah menurunkan jumlatul ismiyat ini tidak kebetulan, tetapi Allah
memilih dengan hikmah, supaya ummat Islam jangan sedikitpun mengikuti jalan
yang dibentangkan oleh Yahudi dan Nasrani. Ketika Umar bin Khothob r.a menjadi
kholifah, beliau berusaha merapikan masalah ketatanegaraan (bukan berarti
sebelumnya tidak rapi, tetapi sebelumnya belum sempurna sehingga perlu
disempurnakan). Untuk itu beliau membutuhkan orang-orang yang ahli dalam tata
negara. Ketika itu Gubernurnya menawarkan seorang kristen yang ahli tata
negara untuk bekerja di iddaroh (di kantor kenegaraan). Apa kata Umar bin
Khothob ? Apa beliau mengatakan "Wah Anda baik, Anda betul-betul bisa
mencari orang yang kita butuhkan, karena pada tahun-tahun ini kita butuh ahli
semacam ini". Ternyata Umar tidak mengatakan demikian tetapi beliau
malah berkata: "Untuk apa kita menerima orang Kristen, apakah kalau orang
kristen itu mati, kita tidak lagi bekerja ? Saya tidak mau menerima semua
ini". Begitu kata Umar. Padahal orang kristen itu benar-benar ahli dalam
bidang yang sedang dibutuhkan negara. Itupun Umar bin Khothob menolaknya.
Betapa Umar betul-betul memahami dan mengamalkan isi ayat ini. Tidak mungkin
orang-orang kafir itu bekerja tanpa pamrih. Pasti dia mempunyai
tujuan-tujuan tertentu. Mana ada orang kafir yang ketika bekerja dia tidak
mencari posisi untuk mendakwahkan agamanya ?
Thobi'atul ma'rokat (karakter peperangan) antara haq
dan bathil itu tidak pernah selesai. Ketika al-haq eksis, al-bathil tidak akan
merasa aman, merasa terganggu. Mereka pasti bergerak.
No comments:
Post a Comment