Powered By Blogger

Friday, April 22, 2016

MENDAHULUKAN ORANG LAIN



Hudzaifah Al-'Adawi bercerita bahwa suatu hari saat Perang Yarmuk ia mencari saudara sepupunya sambil membawa air. Ia pun menemukan saudaranya itu dan menawarinya minum. Saudaranya mengangguk mengiyakan. Tapi ia mendengar ada orang mengerang kasakitan. Ia menyuruh Hudzaifah memberikan air itu pada laki-laki itu yang ternyata Hisyam ibn Al-'Ash. Hudzaifah menurut, lalu menawarkan air pada Hisyam. Hisyam mengangguk, namun sebelum sempat air itu diminum ia mendengar seseorang yang mengerang kesakitan. Hisyam menyuruh pergi memberikan air itu padanya. Ketika Hudzaifah sampai pada laki-laki itu, ternyata ia telah mati. Lalu ia kembali menemui Hisyam. Ternyata Hisyam pun telah syahid. Buru-buru Hudzaifah menemui saudaranya lagi, tapi ternyata ia pun telah dipanggil Allah. Mereka meninggal sebelum sempat meneguk air yang dibawa Hudzaifah karena lebih memilih mendahulukan orang lain daripada dirinya sendiri.
Itulah gambaran itsar yang dipraktikkan para sahabat. Sebuah peristiwa yang sangat sulit terjadi saat sekarang. Al-Quran menggambarkan kehidupan penuh îtsar ini sebagai berikut:
“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum kedatangan mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang-orang yang berhijarah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan
(apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (QS. Al-Hasyr: 9).
* * *
DALAM bersaudara, Allah Swt. menuntut kita agar melakukannya karena Allah, bukan karena motif duniawi. Saat seorang Muslim mengakui Muslim yang lain sebagai saudara, maka yang mesti terlintas dalam hatinya bukan "apa untungnya saya bersaudara dengan dia", melainkan "apa pun untung-ruginya, karena Allah menyuruh untuk saling bersaudara dengan sesama Muslim, maka saya akui dia sebagai saudara". Inilah sikap seorang yang mau mengamalkan bunyi hadits Nabi, "Barangsiapa mempersaudarakan dua orang karena Allah, maka Allah akan mengangkatnya pada satu derajat di surga yang tidak didapatnya dengan amal yang lain" (HR Ibn Abi Dunya dari Anas ibn Malik).
Dalam memperlakukan saudaranya, menurut Al-Ghazali, seseorang dapat tergolong dalam tiga kategori berikut. Pertama, memperlakukannya seperti hamba sahaya: ia memberikan sesuatu hanya dari sisa-sisa yang sudah tidak dibutuhkannya, diminta ataupun tidak. Kategori ini adalah kategori terendah dalam bersaudara. Kedua, memperlakukannya sama seperti ia memperlakukan diri sendiri: apa yang dibutuhkan oleh dirinya, itulah yang ia berikan pada saudaranya. Perlakukan ini lebih tinggi derajatnya dibandingkan yang pertama. Ketiga, lebih mendahulukan saudaranya daripada dirinya sendiri (al-îtsar): sebelum ia menikmati apa saja yang dimilikinya, ia akan lebih dahulu memberikan pada saudaranya. Inilah derajat persaudaraan tertinggi yang bila dijalankan akan menjadikan kita sejajar dengan para shiddîqîn yang dijanjikan surga oleh Allah. (Ihyâ' 'Ulûmuddîn, jil.II hal. 171).
 * * *
            MEMANG, bukan hal yang mudah untuk merenda îtsar dalam dada. Butuh latihan dan kesabaran. Sebelum sampai ke sana banyak tangga yang mesti dilalui. Ada tiga cara yang dapat kita biasakan agar sikap îtsar dapat lebih mudah kita lakukan. Pertama, al-ta'âruf (saling mengenal). Ibarat pepatah "tak kenal maka tak sayang". Demikian pula dalam bersaudara. Saling mengenal adalah kunci pertama untuk membuka pintu persaudaraan. Adalah mustahil, seseorang bersaudara tapi satu sama tidak saling mengenal. Untuk memulai saling mengenal, kita harus mau terbuka menerima orang lain apa adanya. Kebencian dan kedengkian harus dihilangkan. Perbedaan tak perlu menjadi alasan untuk tidak saling mengenal, apalagi antar sesama Muslim yang telah dinobatkan oleh Allah sebagai saudara dalam iman (lihat QS. Al-Hujurat: 10). Setelah saling mengenal, amal kedua yang dapat kita biasakan adalah saling membantu (al-ta'âwun) Rasulullah bersabda, "Seorang Mukmin dengan Mukmin yang lain ibarat satu bangunan yang saling menguatkan satu sama lain" (HR. Bukhari). Semakin sering kita saling membantu, sikap individualistis akan terkikis. Ikatan persaudaraan antar sesama pun semakin terpatri erat.
Namun demikian, Allah berpesan agar tidak saling membantu dalam perbuatan dosa. Firman-Nya, "Dan tolong-menolonglah dalam kebaikan dan takwa. Dan janganlah tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan. Dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya" (QS. Al- Maidah: 2). Saling membantu dalam perbuatan dosa dan permusuhan, pada satu sisi memang akan menguatkan solidaritas dalam kelompok. Tetapi di sisi lain, akan mewujudkan ketidakharmonisan masyarakat dan berpotensi memperkuat permusuhan antar kelompok.Islam menginginkan persaudaraan terwujud dalam masyarakat secara keseluruhan, bukan hanya dalam kelompok tertentu. Amal ketiga adalah berempati atas penderitaan orang lain dan segera ingin membantu melepaskannya. Bukan hal yang mudah untuk dapat berempati dan ikut merasakan penderitaan orang lain. Namun, sikap ini dapat dilatih dengan cara membiasakan diri bersegera membantu saat orang lain mendapat musibah atau kesusahan. Pertama kali memang sulit, musibah yang menimpa orang lain tidak kita rasakan sendiri. Bila tak ditolong pun rasanya tidak akan berpengaruh apa-apa buat kita. Perasaan semacam ini harus dikikis habis. Bila dibiarkan, sangat potensial menyuburkan sikap individualistis. Rasulullah Saw pun menginginkan agar seorang Muslim dengan Muslim lainnya seperti satu tubuh yang saling merasakan. Bila ketiga hal di atas telah terbiasa kita lakukan, Insya Allah sikap îtsar akan lebih mudah kita praktikkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Dan bila ini benar-benar telah terwujud, tak harus ada pengemis di pinggir jalan dan tak perlu ada orang mati kelaparan. Wallâhu A'lam.

No comments: